Ola!

Oh dear
I’ve abandoned you, haven’t I?

Look, I came to seek you just right at the time when I’m supposed to do something else.
Some. Things. Else.
Lots of things, actually.
Pathetically taking you for granted, I’m sorry.
I suddenly am reminded of the reason behind my friend’s consistency of pouring her heart out on blog. It’s because all the time she’s been in the middle of doing something she’s supposed to get done. Yet she is escaping. And that’s exactly how our relationship will go on after this, I guess. I shall not treat you as one of those tasks I need to get done. I shall think of you as a way to escape them. Yeah, that’ll work.

There’s this phase once in month (time-span varies) whenever I get down to the state of overly-skeptical-and-cynical-and-pessimistic-about-whatever’s-going-on. At those times, nothing will ever please me better than being locked in my room for days and just lying there on my bed. Cuddling under the blanket. Pretending like everything stays still and nothing keeps on revolving. I won’t be necessarily idling. Perhaps I’ll working on something. Some. Things. Perhaps some things in abundant amount. Like, piles of tasks and assignments that never seem to end, I don’t care. I just crave for that ethereal remoteness and isolation. And for lingering in solitude, in this dimly lit 4×5 meters universe.

It’s unlikely, I know. I can’t just skip classes for a week every month. So there, I go out and pose like any regular routine-confined guy. And there, it renders me prone to utmost degree of sensitivity. Such burdensome cycle.

To be noted of, even though I haven’t got in touch with you for a time that could’ve turned a room cob-webbed and dusty, I’m proud to tell you that I’m currently occupied with consistent process of reading and re-writing! I gather bunch of synopses about films I have never happened to watch, infer what could the story be, and write down what I’ve perceived from diffusing the essential points. Through which I also am being exposed to tremendous amount of stories (yeay!). It really is excruciating though, not being able to write one of my own. Oh, at least I write! I think somehow it also contributes to the emergence of my sudden urge to visit you.

At current moment I’m like stretching both my arms as far as I could. There, that spatial gap between them represents amount of trivial facts and things I’d like to babble about with you, because no one will ever really gets interested in hearing things like that. No one will. Their attempts may be present for the first few minutes, then their eyes will stray away. Torn between hoping that I’ll sense their reluctance and not daring enough to blatantly telling me to stop.

Yet, while I’m thinking of the very next thing I could whine with you about, that alarming sign in the form of yawning strikes. The magic of caffeine is diminishing. I shall make good use of the amount remaining, shan’t I?

Ciao!

Surat Cinta untuk Dirimu Yang Peduli #GELASMABA

Peringatan: Meskipun tulisan ini banyak mengabuse kata ‘sayang’, bersifat hiperbolik, terkesan bid’ah, tapi tidak sekali-kali tulisan ini dimaksudkan untuk sarkastik. Intensi dari penulis, tidak lain, adalah agar tulisan ini tidak terkesan seperti balasan surat pembaca yang berbau korporat, dan tidak kaku seperti kuku kaki kakakku.

Hai sayang,

Ijinkan saya untuk mengurai gugatanmu menjadi dua poin mayor yang akan saya tanggapi secara terpisah: mengenai 1) rekomendasi yang hanya berdasarkan asumsi, dan 2) apa gunanya #GELASMABA.

Mungkin ada baiknya saya terlebih dahulu memberikan uraian singkat mengenai situasi yang menelurkan wacana pertama kamu yang menohok jiwa itu. Semata-mata, demi memberikan pencerdasan buat mereka selain kita yang belum tahu duduk perkaranya. Tidak boleh itu kita egois dan bertikai sinis. Sabar ya, sayang.

(Catatan: Untuk mencegah kebertele-telean, bagian ini silakan di-skip saja JIKA kamu sudah merasa paham betul kronologinya)

——————————–

Begini, pemirsa.

Konon ada sebuah akun twitter bernama @GELASMABA2012, akun eventual terkait dengan akan diadakannya sebuah event kesenian tingkat fakultas di sebuah universitas pada bulan Desember nanti.
Konon katanya saya bertanggung jawab sebagai koordinator publikasi dari event ini.
Konon sebagai bagian dari publikasi dan promosi, saya diharuskan untuk mengatur konten tweet dari akun yg berkaitan.

…Ternyata semua konon yang disebutkan itu memang demikian adanya (ha ha).
(lalu terdengar suara jangkrik)

Saya memang membuatkan editorial plan (baca: rancangan topik dan konten yg harus di-tweet) dari akun @GELASMABA2012. Dan untuk Jumat-Sabtu kemarin, konten yg saya berikan memang bertemakan #nongkrongasik, berisikan rekomendasi tempat-tempat nongkrong tidak biasa yang pernah saya datangi, yang ditujukan untuk mereka yang—sama seperti saya—bosan kalau disuruh menghabiskan waktu di mall dan mall lagi.

Satu hal yang sebenarnya sama sekali tidak krusial namun ternyata menjelma menjadi akar permasalahan adalah bahwa yg memegang akun @GELASMABA2012 bukanlah saya sendiri, melainkan seorang teman yg saya mintai tolong untuk membantu mengaktifkan akun tsb.

Singkatnya: saya melempar konten, teman saya yg mengeksekusi konten tsb dalam bentuk tweets.Sampai sini jelas ya, mas mbak?

Pembagian tugas ini tidak menjadi suatu hambatan yg berarti,
sampai kemarin mas Deden iseng menyentil dengan reply:

‘Adminnya sendiri sudah pernah ke sana belum?’

terkait twit rekomendasi ke Kineforum.

Teman saya, yang teman Deden juga, yang menjadi admin akun tsb, rupanya semacam panik. Dia sendiri ternyata belum pernah ke Kineforum, dan lantas mengklarifikasi hal tsb via sms ke Deden. Namun, kontradiktif dengan apa yg dia katakan via sms, melalui akun tersebut dia me-reply twit Deden dengan ‘Sudah dong 🙂’.

——————————–

Kalau saya tidak salah, keberatan kamu terletak di poin ‘memberikan rekomendasi hanya dengan berlandaskan asumsi’, betul?

(Sayang sekali kita tidak sedang berada di pengadilan. Aku bukan pengacara dan kamu bukan tersangka yang tengah berdiri di mimbar, dengan segala kuasa untuk menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’. Maaf sekali kini argumenku harus dilandaskan asumsi, sesuatu yang kurasa kini kamu benci.)

Saya asumsikan kamu jawab ‘ya’.

Lalu pertanyaan selanjutnya yang kugulirkan adalah: siapa yang kamu maksud dengan ‘mereka’, yang kamu gugat dalam tulisanmu?

“…tetapi sejak pra event dan untuk hal kecil saja seperti membuat rekomendasi tempat menarik, mereka melakukannya hanya berdasarkan asumsi.”

Saya mensinyalir adanya fallacy dalam argumenmu, sayang.
Kamu menggunakan predikat individual –> (‘seorang admin yang tidak pernah ke Kineforum’)
untuk membentuk sebuah predikat komunal –> (‘mereka’ a.k.a. panitia GELASMABA yang tidak pernah ke Kineforum).

[Tersanjunglah, karena barusan aku rela mengubek-ngubek catatan dari kelas Logika cuma demi memastikan apakah benar ada fallacy jenis ini.]

Penarikan konklusi dengan pola demikian terhitung sesat pikir karena…
…memang tidak adil dan tidak etis, dong, sayang.
Masakan iya dosa seseorang naik pangkat jadi dosa bersama?
Memangnya kita Adam dan Hawa?
Yang bikin dosa pertama?
Karena nila setitik rusak susu sebelanga?
Eits tapi bukan berarti saya cuci tangan, ya.
Toh saya, selaku pemberi informasi, tidak memberikan informasi hanya berdasarkan asumsi. Saya, selaku pemberi informasi, mampu mempertanggungjawabkan apa yang saya rekomendasikan. Kontra dong ya sama gugatan kamu? Jadi boleh dong ya saya anggap gugatan kamu lantas terbantahkan?

Sedangkan admin saya, yang juga teman kita bersama?

“Ya Bapa, ampunilah mereka (dia), sebab mereka (dia) tidak tahu apa yang mereka (dia) perbuat.” – Lukas 23:34 (dengan gubahan)

Kelar ya perkara?

Tapi bagaimana kalau kita lanjutkan dengan perandaian?
Andaikan saya pun memang tidak pernah ke Kineforum. Tidak ada di antara ‘mereka’ (alias kami panitia GELASMABA) yang pernah. Saya merekomendasikan Kineforum hanya dari hasil googling keywords ‘tempat nongkrong asik di Jakarta’, tanpa pernah berada di sana atau melihat tempatnya seperti apa.

JENGJENG.

Lantas bagaimana?

Anehnya, saya pikir itu pun masih tidak apa-apa loh, sayang.
Baik saya dan admin saya masih tidak berdosa.
Sama tidak berdosanya dengan perempuan rumpi yang bicara begini ke temannya yang sama rumpinya:

“Cyin, kafe XYZ itu cucok banget loh katanya buat nongkrong-nongkrong! Banyak lakik bikin gemes demen ngeceng di sana. Cobain yuk cyin kapan-kapan?”

Perempuan rumpi ini tidak pernah berada di sana, atau melihat tempatnya seperti apa. Cuma hasil dengar-dengaran mulut ke mulut. Lantas salahkah dia? Merekomendasikan hanya berdasarkan asumsi yang ditarik dari kumpulan testimoni?

Toh kita hanya berbagi informasi.

Tidak bermaksud membentuk mispersepsi sama sekali.

Makanya, kemarin sebenarnya saya sempat bingung sendiri. Jangan-jangan kamu punya intensi tidak sekadar ini. Tapi yasudah, kita bahas nanti.

Masuk ke pertanyaan kamu tentang esensi dari GELAS MABA.
Kali ini, saya tidak bisa berkomentar banyak. Tidak bisa defensif maupun ofensif karena, percayalah, sesungguhnya saya mempunyai kontemplasi tersendiri terkait hal ini. Kurasa di poin ini kita bisa bertukar opini, tapi tentu tidak di ruang ini, meskipun sejujurnya jemari ini gatal sekali ingin mengetikkan isi hati. Tapi bayangkan saya sebagai humas dari sebuah perusahaan rokok. Memulas dan membuat elok terlepas dari apa yang sesungguhnya saya percayai. Semacam itulah saya di sini.  Terikat kontrak dan komitmen meskipun tidak digaji lebih dari terima kasih.

Demikianlah.

—————————————————————-

Catatan:

Kebingungan saya sudah terjawab terkait ‘intensi yang tidak sekadar ini’ sudah terjawab ketika saya mendengar opini kamu terkait acara ini dari mulut Project Officer GELAS MABA sendiri.

Saya sama sekali tidak mempunyai keberatan atas pendapat yang kamu katakan dan munculkan di bagian terakhir tulisan kamu ini. Namun bagi saya, premis yang kamu jabarkan dari sepanjang kalimat pertama sampai kalimat sebelum terakhir kurang mengandung relevansi akan wacana yang kamu tarik di akhir. Wacana yang muncul di akhir, saya tahu, didasarkan atas pertimbangan lain yang tidak kamu jabarkan di tulisan ini. Dengan kata lain, terjadi gejala jumping conclusion di sini. Tulisan ini pun terkesan hanya sebatas ekskresi emosi dan objeksi, alih-alih menyediakan argumentasi dan alasan untuk memperkuat wacana di akhir.

Sekian kritik saya terkait tulisan kamu sendiri.

Terima kasih, karena wacanamu menstimulus saya untuk menulis lagi dan mencegah kandasnya-blog-baru-viren-di-postingan-pertama, secara balasan ini resmi jadi postingan kedua.

Mengenai wacanamu yang juga jadi bahan kontemplasi saya, bolehlah kapan hari kita berbagi di bawah tangga gedung F.

Pilot (Prolix one, I warn you)

Hi there.

Before starting to deal with unimportant mumbles of mine, perhaps it might interest you to acknowledge things that serve as the reason behind my creating new blog
(despite having one that had been running for quite some times)
(though unpopular)
(no, I’m not trying to be modest here)
and behind the naming of this very blog.

PERHAPS, I said.
If it is apparently not then I will gladly suggest you to slide right to my next post,
or just simply surf to other seem-to-be-more-interesting ones.
Yeay!
Yet if it somehow oddly takes your interest, please do carefully guide your eyes fixed on the very next row I’m going to type.

—–

I need refreshment.
I simply am.
I’m bound to write, for writing serves as catharsis to this unsociable soul
(any, unsociable beings)
(thank god there’s catharsis such as writing).

Yet I can no longer write in my old blog. If you ask me, I will most likely shrug my shoulder for my inability to yield any direct reasoning. I haven’t written in it for quite long (months), and every time I try to greet it by getting some pretty philosophical phrases (yuck) posted,  certain feeling of unfamiliarity refrain me from doing so.
That kind of feeling, when you’re getting excited about meeting your (very) close friend whom you haven’t interacted to for some times, yet when the encounter comes naught but awkwardness lingers between you two, for neither you nor your friend know how to start even the utmost trivial conversation. Or how to respond to kind words each other’s been saying. You’ve just simply forgotten.

And just like that, both of you simply drift away.

…That is what’s going on between I and my old blog.
Or between I and my other friend(s).

…Never mind.

You see, if my terrible relationship with my old blog awfully prevents me from doing this obligatory (well, for me) ritual, I’d say: why don’t I just make new one?
So I did,
along with the hope that my writings will render different tones from the previous ones
(as every brand-new-things usually are),
since this is now brought in concept: that I’m a tale whisperer.
Self-proclaimed ones, to be exact.
Ha!

About a week ago, it struck me all of sudden: a thought that irresistibly gave me rush of excitement.
An answer to question I’ve been enquiring for some times. Question that any ambitious human being would likely to utter at certain point of his life: their own purpose of living. And while numerous individuals are still in endless quest to find their purpose, mine oddly came to me just like that.

Whoops, pardon my bragging.

It came after moments of contemplation and numerable train of thoughts, actually. I was then brought to be aware of the existence of stories carried by every single entity in this universe. Every single entity, as in both living beings and not-pretty-lively beings. Even winds do whisper, trees do chatter, if only we were care enough to bother. It amuses me, to think that a single tale could’ve been told differently by different entities, with different perspectives and varied degree of interest. Yes, I do believe that stories are not thence created from vacuum space. They are already there, scattered, lingering, waiting to be unleashed. Some tales are lucky enough to have the chance to be publicly known and adorned, while the rests are–though not at all less significant–unfortunately remain untapped.

Then the thought of assigning myself to this task gave me thrill–only god knows why. As if you’ve finally remembered forgotten words that cling right at the tip of your tongue. It was then decided: I dedicate myself to be a medium of those untapped tales. Medium that conveys stories–as well as thoughts–right to those who are desperately in need.

It excites me, it excites the hell out of me. Because it IS exciting. And it serves as justification for my lately-developed interest to learn–literally–anything. It does, simply because of such simple logic that I couldn’t have been a medium for certain-topic tales if I didn’t firstly possess adequate knowledge about it: the story won’t come to me. Hence I am also assigned to be a life-time learner, which actually is obligatory for human of quality.

It feels right, it feels incredibly right,
for I believe that the chores which could be considered as noble are the ones that are devoted for the sake of other people, instead of ones that are committed to chase one own’s glory.

Idealist much?

Perhaps so, yet what’s entirely wrong with that?
If I can’t put even a single jot of hope to what’s ideal, I don’t know what else I should hold myself onto.

I shall then cross my finger,
hoping that I will always be reminded to what I’ve been typing here, and not to stray too far from it.

Well, anyway… Lest that I’m issuing further self-disclosure up onto a degree that renders you unnecessary and uninterested to stroll in this tiny space of mine, I’d probably better bid my goodbye now.

Cheers!